Senin, 29 Agustus 2011

PEREMPUAN DALAM JABATAN POLITIK

Panggung Politik Perempuan
DATAR TAPI LICIN


“Dalam ajaran Hasta Brata, salah satu karakter pemimpin adalah “angin”, yakni hadir di setiap tempat dan memberi kesejukan tanpa peru diketahui bahwa ia berada di sana. Tanpa perlu nama atau pujian”

Yayasan  Melati Bhakti Pertiwi
Prof Dr  Nani Soedarsono, SH


            Sebagaimana kita ketahui partisipasi perempuan dalam kegiatan politik serta kesempatan dan kemampuan untuk berperan-serta dalam pengambilan keputusan menunjukkan peningkatan yang sangat lambat. Hal ini antara lain dapat dilihat dari jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

         Landasan hukum Pembangunan Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik, yaitu peluang perempuan untuk meningkatkan partisipasi dalam pembanguan nasional melalui berbagai kebijakan dan per-UU an tertuang dalam Ps. 28b, 28c, 28e, 28f, 28g, 28h,28i serta UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU tentang Pemilu – yang kini sedang dalam proses penomoran.

            “Memang bila dilihat dalam 32 tahun terakhir, dari sisi practical gender interest, ada kemajuan”, kata Sri Redjeki Sumaryoto, SH ketua Mitra Gender, sebuah LSM yang gencar mengkampanyekan isu gender dalam politik. Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan itu menambahkan, kaum perempuan masih harus menghadapi berbagai dan berlapis stigma serta stereotype yang dialamatkan kepada mereka oleh budaya, lingkungan, hukum dan lawan jenis.

         Ketua Komisi Nasional Perempuan, Dr Chandrakirana,  menyoal  stigma tadi, contohnya, pandangan bahwa perempuan ideal itu harus seperti permaisuri yang selalu duduk di samping suami sebagai pendamping saja, atau meminjam istilah Jawa, perempuan itu adalah kanca wingking.





Perempuan, selalu diidentifikasi dengan kaum lemah,
penghias sangkar madu yang tidak mampu bersuara.











         Berbagai posisi tersebut bukanlah hal mudah, karena harus mengubah kabiasaan yang memberi kenyamanan sosial tak terbantahkan. Dalam kebiasaan itu ada norma dan nilai patriarkat yang disosialisasikan dan diwariskan dari generasi ke generasi, antara lain adalah pengandaian bahwa anak-anak laki-laki lebih baik dari anak perempuan di banyak bidang.

Kebijakan Politik

         UU parpol yang baru lebih eksplisit dalam mengatur ketentuan mengenai keterwakilan perempuan 30%. Pada Bab II mengenai Pembentukan Partai Politik, dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan dan pembentukan parpol menyertakan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Ketentuan yang sejalan dengan itu juga terdapat dalam pasal yang mengatur mengenai fungsi parpol pasal 11 ayat (1) huruf “e” menyatakan bahwa fungsi parpol dalah sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Terakhir pada bab IX tentang Kepengurusan, dalam Pasal 20 disebutkan bahwa kepengurusan parpol tingkat propinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh persen) yang diatur dalam AD dalam ART parpol masing-masing.

         Hasil Pemilu tahun 2004 misalnya, menempatkan 65 orang (11,82%) perempuan di lembaga DPR,188 orang atau  10% di DPRD propinsi, dan 1.090 orang (8%) di DPRD kabupaten/kota. Sementara itu di lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, mencapai 29 orang (21,09%).


Isu Krusial:

Isu krusial tentang perempuan di ranah politik khususnya keterwakilan perempuan 30% di lembaga legislatif di bidang politik Pemilu 2004: jumlah perempuan yang menjabat hakim 16,2%. Menteri perempuan Kabinet Bersatu 4 orang, Gubernur 1 orang, Bupati/Walikota 9 orang, dan juga PNS yang menduduki jabatan Eselon I (satu) 10%, Eselon II (dua)  6,6%, Eselon III (tiga) 12,7%, Eselon IV (emat) 22,05%.



           DR HR Agung Laksono,
 

            Dewan harus mampu menyusun Undang-undang (UU) yang lebih berperspektif gender. Upaya tersebut telah dimulai dengan masuknya ketentuan mengenai keterwakilan perempuan 30% dalam komposisi keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam UU Penyelenggaraan Pemilu. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pada bab III tentang Komisi Pemilihan Umum, pada bagian kedua, yang mengatur mengenai Kedudukan, Susunan, dan Keanggotaan, dalam pasal 6 ayat (5) dinyatakan bahwa komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).

         Ketentuan tersebut di atas ternyata membawa perubahan yang cukup signifikan dalam komposisi keanggotaan KPU di tingkat pusat. Dari 7 orang Anggota KPU, 3 orang diantaranya adalah perempuan. Hal ini menunjukkan kemajuan yang cukup berarti, karena dalam keanggotaan KPU periode sebelumnya, hanya terdapat 2 orang perempuan.

Dra Siti Nurbaya,Mantan Sekjen DPR RI

Perbandingan Dengan Negara Amerika Latin

            Perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan akses dan berpartisipasi dalam bidang politik, termasuk hak untuk memilih dan dipilih serta memegang posisi penting di semua tingkatan pemerintah. Hak tersebut dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang diperkuat oleh Deklarasi PBB mengenai Hak Asasi Manusia (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DU-HAM), Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 68 tahun 1958, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1984, dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mencantumkan bab khusus tentang Hak-hak perempuan.

            Di negara seperti Argentina regulasi kuota menjadi kewajiban untuk dipenuhi setiap partai politik, ley de cupos act yang diundangkan pada tahun  1991 mengatur setiap parpol untuk memenuhi 30% calon legislatif perempuan. Karena itu parpol tidak dibolehkan memuat perempuan di urutan belakang dalam daftar caleg yang diajukan. Bagi parpol yang gagal memenuhi kualifikasi tersebut, akan ditolak berkompetensi dalam Pemilu. Sebagai hasil dari produk hukum ini, terjadi kenaikan representatif perempuan di tingkat legislatif Argentina pada tahun 1993, menjadi 21,3 % (dibandingkan 4,6% di tahun 1991). Disusul lagi dengan pemberlakuan reformasi sistem Pemilu yang dicantumklan dalam peraturan pemilihan, yang menyaratkan kewajiban 30% kuota untuk kandidat perempuan.

         Untuk pos-pos berdasarkan pemilihan, peraturan ini telah meningkatkan persentase perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat (Chambers of Deputies)

         Momentum perjuangan perempuan Argentina seolah mencapai puncaknya ketika Christian Fernandezde Kirchner (54) berhasil memenangkan pemilihan presiden (pilpres) Argentina, di tahun 2007. Kemenangan Christian merupakan sejarah pertama kepemimpinan eksekutif perempuan di Argentina. Tidak heran Christian mendapat sambutan hangat dari seluruh media di dunia. Pada dasawarsa pertama tahun 200-an. Ia menjadi Amerika Latin yang berhasil menjabat sebagai presiden (setelah Michelle Bachelet, seorang mantan parpol yang menjadi presiden Chile sejak tahun 2005. Meskipun di kawasan ini, sudah berulang kali perempuan mampu menjadi presiden. Tercatat mulai dari Violetta Barios de Chamorro yang memenangkan pemilihan presiden di Nikaragua pada 1990, dan memerintah hingga 1997, lalu Pascal Trouiollot menjadi pejabat Presiden Haiti dari 1990-1991 disusul Miereya Muscoso memenangkan pilpres di Panama tahun 1999 dan memerintah hingga 2004.

Sri Redjeki Sumaryoto, SH
Ketua Mitra Gender (NGO), mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

            Kendala yang dihadapi oleh perempuan untuk memasuki dunia politik selama ini antara lain: (1) Kendala ideologi dan psikologi yang cenderung menempatkan perempuan di ranah domestik dan mendiskriminasikan perempuan; (2) Kendala sumber daya manusia, seperti faktor kepercayaan diri untuk memasuki politik karena masih rendahnya pendidikan serta akses terhadap informasi dan teknologi, termasuk minimnya pendidikan politik bagi perempuan, terutama di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan; (3) kendala kelembagaan dan struktural, seperti maskulinitas sistem politik Indonesia dan sistem internal partai politik yang merugikan perempuan; (4) Kendala hukum dan peraturan  perundang-undangan; (5) Ketiadaan database perempuan dalam posisi pengambilan keputusan, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, terutama di tingkat Provinsi, dan kabupaten/Kota; dan (6) Minimnya dana yang dialokasikan bagi perempuan.

            Diharapkan “afirmative action” dapat secara tegas tercantum dalam paket UU Politik seperti: UU Pemda, UU Pemilu, UU Susduk, UU Parpol UU Pilkada dan UU Pilpres agar mengakomodasikan beberapa tuntutan kebutuhan, antara lain: (a) Kriteria penetapan kandidat pilkada dan pilpres harus memperhatikan prinsip keterwakilan perempuan (b) Menetapkan sistem pemilu yang akan membantu meningkatkan sistem keterwakilan perempuan dan menjamin pelaksanaan demokrasi. (diharapkan minimal         30 % pejabat, adalah perempuan), (c) Mendukung kebijakan calon independen untuk lebih membuka peluang politik dan memperkuat politik perempuan.

Angelina Sondakh
Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat

         Partai politik tidak perlu khawatir dengan terjadinya pengurangan jatah bagi kader-kader internal partai dengan masuknya calon dari luar. Jalur internal telah memiliki “jatah”nya sendiri. Calon eksternal partai juga telah melalui tahap penyaringan ketat yang harus memenuhi persyaratan kualitas. Namun partai politik tampaknya belum cukup “iklas’ membuka pintunya pada calon kader perempuan dari luar partai kecuali untuk pemilu, itupun sekedar sebagai pengumpulan suara (votegetter), yang biasanya diambil dari kalangan artis atau public figure. Padahal hadirnya calon anggota legislatif dan kader perempuan (partai) berkualitas akan meningkatkan citra lembaga politik tersebut.

         Erat kaitan antara peran politik (parpol) dan partisipasi politik perempuan. Kedua variabel ini memiliki hubungan yang sangat signifikan. Dengan demikian, partai politik ke depan memiliki fungsi strategis dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di dunia politik yang sampai saat ini dapat dikatakan relatif masih rendah.

Chusnul Mar’iyah, Ph.D
Doktor Bidang Politik, dari Government Sydney  University,  Australia

Lahir, Babat, Lamongan, Jawa Timur, 17 Oktober 1961.
Tamat S-1 Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, 1087.
Anggota KPU 2004.

Pengalaman Konstitusi di Beberapa Negara
                                               
         Upaya mereformasi sistem Pemilu dan kepartaian terbukti sangat efektif untuk meningkatkan peran perempuan. Misalnya pengalaman konstitusional di parlemen Afrika Selatan, mereka mengamandemen undang-undang tentang pendaftaran parpol dan calon legislatif (caleg), yang meningkatkan jumlah perempuan di parlemen menjadi 27%. Demikian pula di India, tiga partai yang masing-masing diketuai perempuan. Partai Kongres (partai terbesar di India) menetapkan quota sepertiga nominasi bagi caleg perempuan. Di Chili, Partai Demokrasi juga telah memakai peraturan yang menyatakan bahwa penetapan caleg laki-laki tidak boleh melebihi angka 60%.

         Di Swedia, misalnya, awalnya justru tidak dikenal penggunaan sistem quota. Tetapi meletakkan pondasi untuk memudahkan perempuan masuk dalam politik, dengan mempersiapkan kompetensinya untuk masuk dalam bidang politik. Diiringi dengan mempersiapkan sistem, yang membuat laki-laki menjadi “malu dan menyerah”. Setelah itu, barulah menggunakan sarana kuota, di tempat yang cukup sulit menempatkan perwakilan perempuan. Hal ini diikuti pula lewat serangkaian reformasi sistem pemilu dan kepartaian di tahun 1994. seperti yang dilakukan Partai Sosial RI   No. 12 Tahun 2003, tentang Pemilu Legislatif.

Dyah Rieke Pitaloka,
Artis dan Aktivis Politik dari PDIP
        
         Uluran tangan konsorium LSM yang mengusulkan nama-nama calon legislatif yang potensilal belum sepenuhnya dapat diterima dalam sistem kita. Padahal jika ingin konsisten mematuhi UU yang ada, kerjasama ini niscaya akan mengurangi beban dalam pemenuhan kuota (tahapan jumlah) maupun perekrutan kader-kader potensial (tahapan kualitas)

Dra Hj Yuniar SP
Wakil Ketua DPRD Kota Langsa, Aceh Timur, NAD
Ketua Kaukus Parlemen Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
        
         Salah satu tantangan dalam peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik adalah masih terbatasnya jumlah perempuan yang bersedia terjun dalam dunia politik. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kendala yang dihadapi oleh perempuan yang memilih politik sebagai tempat untuk mengaktualisasi dirinya, baik kendala yang berasal dari diri perempuan itu sendiri maupun kendala dari luar.

         Terdapat fenomena adanya partifikasi (bukannya demokrasi) dan klan-klan baru di dalam tubuh partai politik yang ada sekarang, sehingga melahirkan kompetisi tak sehat yang menipiskan kesempatan bagi kaum perempuan. Ini mengakibatkan kendali terhadap kaum perempuan di badan eksekutf dan legislatif, bukan berada pada sistem itu sendiri, tapi berada di kelompok oligakhis yang ada di eksekutif partai.

         Selain itu sistem politik kita sangat partisan. Anggota-anggota dewan kita bertanggungjawab pada parpol, tidak kepada konstuennya, kepada rakyat.. Perempuan sendiri masih menganggap politik itu kotor karena cenderung korupsi, main sikut-sikutan bahkan tidak jarang bentak-bentakan di forum yang disebut terhormat. Dan untuk masuk ke dalamnya harus banyak uang, sementara masih banyak perempuan yang miskin.

         Tentang prsayarat kualitas yang disebut-sebut itu, sangat relatif sekali, dan tidak adil jika hal yang demikian hanya dipakaikan kepada kaum perempuan. Mengapa kaum laki-laki tidak dipakaikan standar kualitas? Toh, banyak anggota dewan yang laki-laki yang kualitasnya bahkan lebih rendah dari kaum perempuan.

Dra Netty Herawaty Lukman, MM,
Ketua Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Metro,
Magister Manajemen Universitas Bandar Lampung (UBL).
Penasihat Dharma Wanita,
Ketua Persatuan Kaukus Perempuan Propinsi Lampung.
                       
         Kendala ideologi dan psikologi secara tidak langsung masih dibatasi keterlibatan perempuan dalam berpolitik. Keterbatasan perempuan dalam berpolitik tidak terlepas dari ketidakmampuan mereka untuk mengupayakan anggaran pendanaan yang tidak sedikit dalam mempromosikan diri untuk partai politiknya. Dan terbatasnya dana yang dialokasikan bagi kepentingan pemberdayaan perempuan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Sumping J Ranan,
Anggota DPRD Fraksi Demokrat Sejahtera, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Lahir, Tebing Tarusan, 27 Januari 1875,
      
         Bagaimana menjadikan Pemda sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang mendukung proses demokratisasi menuju civil society.

         Kesadaran perempuan untuk berpolitik memperjuangkan hak-hak yang terabaikan sehingga pada pemilu tahun 2009 dimanfaatkan perempuan untuk menempati posisi legislatif dan eksekutif serta pengawas.

                       
                                                                                                                                                                                                                                                                                                Jhm/Pr/GS/Har


DATA PENDUKUNG

Gambaran Keterwakilan Perempan di
Bidang Jabatan Publik/Pengambilan Keputusan

  • Hakim 16,2 %
  • Menteri Kabinet Indonesia Bersatu  4 orang.
  • Gubernur 1 orang.
  • PNS yang menduuduki jabatan structural eselon I:10 %, Eselon II 6,6 %, Eselon, Eselon III 12,70 %, Eselon IV 22,05 %.

UU Pemilu Tahun 2008, antara lain:

  • Pasal 15 (d) surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  • Pasal 60 Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pasal 59 memuat paling sedikit 30 % keterwakilan perempuan.

  • Pasal 64 (1): KPU melakukan verivikasi terhadap kelengkapan dan kebnaran dokumen persyaratan adminstrasi bakal calon anggota DPR dan verivikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30 % keterwakilan perempuan.

  • Pasal 64 (2): KPU Propinsi melakukan verivikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD propinsi dan verivikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30 % keterwakilan perempuan.

  • Pasal 64 (2): KPU Kab/kota melakukan verivikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verivikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30 % keterwakilan perempuan.

UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan Pasal-pasal.

  • Pasal 2 ayat 2: Pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 % keterwakilan perempuan di tingkat pusat.

  • Pasal 20: Kepengurusan partai politik tigkat propinsi dan kab/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun denga memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 % yang diatur dalam AD/ART prtai politik masing-masing.

  • Pasal 31 ayat (1): Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggungjawab dan memperhatikan keadian dan kesetaraaan gender.


KENDALA-KENDALA

A. Kendala Internal, Antara Lain

·         Kesempatan diri perempuan sendiri untuk mengembangkan kualitas, kapasitas, dan kompetensinya memasuki lingkungan dunia politik;
·         Belum menonjolnya peran kepemimpinan untuk meraih dukungan dari pemilih
·         Sikap mental yang lemah terbentuk karena selama 32 tahun peran perempuan senantiasa diposisikan sebagai orang kedua
·         Status sosial ekonomi perempuan di dalam masyarakat, misalnya kurang sumberdaya keuangan yang memadai dan akses yang terbatas terhadap sumber pendanaan yang dibutuhkan.

B. Kendala Eksternal, Antara Lain

·         Masih adanya anggapan/pemahaman bahwa dunia politik itu adalah bebbeda dengan dunia lain yang antara lain dicitrabakukan sebagai dunia keras penuh tantangan dan hanya pantas untuk laki-laki saja;
·         Budaya patriarki yang memarjinalkan perempuan di ranah publik;
·         Domestifikasi peran perempuan dalam berbagai aktivitas keseharian juga membuat perempuan tidak pernah terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik;
·         Masih rendahnya komitmen dan dukungan dari kaum perempuan sendiri untuk memilih calon sesama perempuan juga merupakan hambatan;
·         Iklim sosial budaya yang belum, menopang peningkatan partisipasi perempuan untuk berkiprah secara optimal di dunia politik;
·         Masyarakat termasuk kalangan partai politik mempertanyakan kesiapan dan kualitas perempuan.
                                                

                                                                                                                                Red/NGO NEWS




Tidak ada komentar:

Posting Komentar