Minggu, 28 Agustus 2011

MERAJUT MASYARAKAT SIPIL, DEMOKRASI DAN WAWASAN KEBANGSAAN MENJADI KEKUATAN BANGSA

Oleh
Ir. Drs. Bonar Simangunsong, SE, MSc

       Makna Masyarakat Sipil

             NGO News. Masyarakat sipil itu dari kata civil society. Ada orang yang tidak senang istilah masyarakat sipil, seperti dikotomi sipil dan militer, pada hal tidak ada hubungannya. Istilah masyarakat sipil semata-mata muncul dari jargon akademik, suatu istilah yang jamak digunakan dari dua suku kata civil society diterjemahkan menjadi masyarakat sipil. Ada juga yang menterjemahkan civil society menjadi masyarakat warga, tetapi yang dipilih adalah masyarakat sipil. Masyarakat sipil terdapat dalam suatu negara yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, bahwa rakyatnya itu berdaulat, masyarakat yang memiliki budaya dan kemampuan menentukan nasib, mampu mencari pekerjaan sendiri dan sebagainya. Negara dan pemerintah dalam hal ini lebih banyak sebagai fasilitator dan pengayom, di lain pihak penduduknya yang bekerja dan melaksanakan seluruh aktivitas pembangunan. Kalau rakyat belum memiliki pekerjaan dan fasilitas umum, maka pemerintah wajib menyediakan kebutuhan minimal atau makanan dan memberikan pekerjaan.

             DR. Victor Silaen, M.A. dalam makalahnya “Membangun Masyarakat Sipil Menuju Indonesia Baru” menuliskan sebagai berikut: istilah civil society, dalam pemikiran Barat, lahir dari pemikiran Cicero (106-43 Sebelum Masehi), yang pertama kali menggunakan istilah Latin, civil societas, untuk menggambarkan masyarakat kota yang penduduknya hidup di bawah hukum sipil (civil law). Lama sesudahnya, di zaman modern, konsep tersebut dihidupkan kembali oleh John Locke (1632-1704), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), dan Friedrich Hegel (1770-1823). Namun, ada juga yang mengatakan bahwa di zaman itu istilah civil society pertama kalinya dicetuskan oleh Adam Ferguson, seorang filsuf Skotlandia, penulis buku An Essay on the History of Civil society (1767). Konsep tersebut didasari amatan Ferguson terhadap proses transisi dari masyarakat aristokratis ke masyarakat komersil atau masyarakat industri. Ia sangat menekankan, pertama, pentingnya pembagian kerja (spesialisasi) di dalam masyarakat; kedua, peralihan orientasi dari kehormatan ke kepentingan; ketiga, kebebasan untuk mengejar kebajikan individual (Gellner, 1995).

             Sebagai pencetus, Ferguson memang tidak memberi penjelasan tuntas ihwal masyarakat sipil yang dimaksudkannya. Gagasan masyarakat sipil bertolak dari suatu titik dalam sejarah pemikiran Barat, khususnya sejarah modernisasi dan pencerahan. Dalam proses itu, sejarah memunculkan manusia dengan individualitasnya yang otonom sebagai dasar untuk mencari pengetahuan. Saat itu manusia mulai bebas menggunakan rasionya dan berani menolak hegemoni dari pihak agama. Itu sebabnya kemunculan gagasan masyarakat sipil tak dapat dilepaskan akarnya dari semangat Protestanisme asketis: suatu semangat yang muncul karena doktrin keselamatan, hingga setiap individu tidak saja memperkokoh kemurnian kehidupan pribadinya, namun juga menciptakan asosiasi-asosiasi bebas dalam gilda-gilda ekonomis. Iman akan pemilihan atau keselamatan ilahi diekspresikan melalui sikap dan tindakan mengelola hidup secara tertib dan rasional. Dengan demikian, dalam sejarah masyarakat sipil dapat ditelusuri adanya relasi kuat antara dimensi rohani dengan semangat rasional yang sudah akil balik pada manusia modern (Seligman, 1992).

             Seiring perkembangan ilmu-ilmu sosial, beberapa ahli kemudian mencoba mengajukan definisi tentang masyarakat sipil itu. Antara lain misalnya Alexis de Tocqueville (1969), seorang Perancis yang berdasarkan amatannya terhadap masyarakat AS, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan: kesukarelaan (voluntary); keswasembadaan (self generating); keswadayaan (self supporting); kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara; keterkaitan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga masyarakat.

             Sedangkan Alfred Stepan (1996), pengamat Amerika Latin, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai arena tempat berbagai gerakan sosial (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok perempuan, kelompok keagamaan, dan kelompok intelektual) dan organisasi kemasyarakatan dari semua golongan atau profesi (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh, dan usahawan) berusaha menyatukan diri dalam suatu himpunan untuk dapat menyalurkan dan memperjuangkan pelbagai kepentingan mereka. Dalam perspektif hubungan society dan state, menurut sosiolog Daniel Bell (1989), masyarakat sipil niscaya memiliki fungsi kontrol terhadap negara, serta mampu mengimplementasikan prinsip pengawasan dan penyeimbangan (checks and balance). Dengan demikian, jelaslah bahwa gagasan masyarakat sipil ini berkembang dilandasi semangat anti denominasi dan antihegemoni negara. Pemikiran-pemikiran dari Amerika Latin dan Eropa Timur memiliki beberapa kesamaan, yaitu:
a.         Civil society dipahmi tidk hanya sebgai sebuah cara untuk mematahkan rejim yang berkuasa, tapi lebih sebagai sebuah wilayah dimana pemerintahan otoriter tidak dapat berkuasa. Wilayah ini harus tetap hidup dan terbuka.
b.         Adanya kesepakatan terhadap pentingnya pemenuhan hak-hak asasi manusia. Bagi mereka, hak asasi manusia dan civil society adalah penting bagi berlangsungnya sebuah sistem demokrasi yang efektif.
c.          Adanya pemahaman tentang pentingnya sebuah solidaritas internasional, terutama untuk membangun jaringan kerjasama lintas batas negara, untuk mendukung mereka ketika tampil di forum-forum internasional dalam rangka mengkritisi dominasi rejim di negara mereka.

             Di dalam masyarakat sipil, dengan definisi sebagaimana dijelaskan di atas, demokrasi yang berkembang niscaya bercorak pluralistik: ditandai dengan banyaknya pranata sosial politik yang terbentuk atas prakarsa masyarakat sebagai penyalur aspirasi mereka sendiri (Dahl, 1985). Di samping itu juga terdapat ciri-ciri lainnya: tingginya tingkat partisipasi politik masyarakat; terbukanya ruang-ruang publik yang luas dan bebas; terbentuknya masyarakat yang kritis (critical society). Yang terakhir ini tak mungkin tercapai tanpa melalui proses pencerahan yang membuat budaya masyarakat menjadi modernis: yang berciri rasional, universal, berorientasi achievement, dan imparsial. Di dalam masyarakat sedemikian, nilai-nilai yang berkembang dan dihayati dalam kehidupan niscaya mencakup kebebasan, kesetaraan, individualistik, independensi, dan toleransi (Lerner 1958, Lipset 1963). Proses menuju ke arah itu, menurut Lipset (1963), dapat didukung pencapaiannya melalui pendidikan, dan instrumen-instrumen pendukung: urbanisasi (yang disebabkan oleh industrialisasi), literacy (angka melek huruf dan minat baca yang tinggi), pers (yang bebas), dan pertumbuhan ekonomi.

             Konsepsi yang terakhir, yaitu civil society sebagai kekuatan peyeimbang kekuatan negara bersumber pada pemahaman Alexis  de Tocqueville. Konsep Tocqueville, yang dikembangkannya berdasarkan pengalamanya di Amerika Serikat, sepintas lebih dekat dengan konsep Hegel yang memandang civil society sebagai gejala sosial dalam masyarakat  modern. Namun jika diperhatikan lebih seksama sebenarnya ia berbeda dengan Hegel dalam hal bahwa menurut Tocqueville posisi civil society tidak a-priori sub-ordinatif terhadap negara. Dalam pemahaman Tocquevillean, civil society di dalam dirinya memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara. Civil society, yang dimengerti sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara, justru merupakan sumber legitimasi keberadaan negara kendatipun tidak sepenuhnya mengontrol yang terakhir. Sebab bagaimanapun juga negara memiliki kapasitas berbeda dan lebih bersifat inklusif sedangkan civil society, dalam dirinya cenderung pluralistis sehingga ekslusifisme senantiasa membayanginya. Masyarakat sipil bukan saja kekuatan penyeimbang kekuatan negara, tetapi juga terhadap kekuatan ekonomi pasar.

             Tocqueville juga menekankan adanya dimensi kultural yang membuat civil society dapat berperan sebagai kekuatan penyeimbang, yakni keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap norma-norma dan nilai hukum yang diikuti oleh warga. Bahwa yang menjamin kebebasan adalah apa yang disebut democratic expedianct, termasuk di dalamnya local-self government, pemisahan antara Gereja ,dan Negara, yang sebelumnya disatukan, kebebasan pers, pemilihan secara tidak langsung dan sistem hukum yang mandiri serta “associational life”.

             Dalam wacana civil society mutakhir, konsepsi Tocqauevillean dan Gramscian merupakan dua rujukan utama dari para aktivis dan pakar, kendatipun visi Fergusonian juga banyak dipakai sebagaimana ditujukan di muka. Vaclav Havel sendiri di dalam penjelasanhya mengenai kaitan antara civil society dan demokrasi tampak mempertahankan semangat Tocqueville, bahwa keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Civil society, menurut Havel, dapat menjadi sebuah kekuatan politik karena di dalamnya terdapat elemen inti berupa kewarganegaraan aktif dan kepedulian terhadap kehidupan public. Di samping dari kedua sumber itu, wacana mutakhir tentang civil society diperkaya oleh berbagai pemikiran politik dari tokoh-tokoh seperti Hannah Arendt, Juergen Habermas, Charles Taylor, Daniel Bell, untuk menyebut beberapa nama diantaranya. Dari Hannah Arendt dan Habermas, umpanya, diperoleh sumbangan pemikiran mengenai peran ruang publik bebas (the free public sphere) dan kewarganegaraan (citizenship). Taylor dan Bell member sumbangan pemikiran mereka tentang pluralism dan peran komunitas-komunitas kecil dalam pertumbuhan civil society di Amerika. Dari kalangan pemikir feminis diperoleh kritik-kritik konstruktif mengenai civil society, khususnya terhadap pemahaman mengenai pembagian antara publik dan privat yang mengandung prasangka gender.

             Setiap warga negara  mempunyai hak dan kewajiban dalam masyarakat, bangsa dan negara. Ada yang disebut Hak Azasi Manusia yang berlaku universal seperti, kebebasan berbicara menyatakan pendapat, kebebasan memperoleh kesempatan pendidikan, pekerjaan, kebebasan hak pilih (memilih dan dipilih), kebebasan beribadah, kebebasan mendirikan tempat ibadah, dan sebagainya.

             Di pihak lain mempunyai kewajiban kepada masyarakat, bangsa, dan negara, seperti: kepada masyarakat untuk menghormati hak orang lain dan menghormati ibadah orang lain, harta orang lain, keluarga orang lain, martabat orang lain, dan lain-lain.

             Kewajiban kepada bangsa seperti: menjunjung tinggi nilai luhur bangsa, nilai kejuangan untuk menjaga nama baik bangsa. Apalagi terhadap bangsa lain, menerapkan budaya bangsa umpamanya, kesenian, bahasa bahkan adat istiadat meliputi berpakaian, tata karma, berbicara, bahkan berkreasi membuat arsitek rumah, adakalanya wajib di pakai dan dilestarikan dalam bangunan tertentu.

             Di samping itu kewajiban kepada negara seperti mentaati peraturan perundangan, membayar pajak, memelihara lingkungan, menghormati penyelenggara negara seperti: eksekutif, legislatif maupun yudikatif, ikut membantu ketertiban umum seperti: lalu lintas, berjualan tidak di tepi jalan serta mendirikan bangunan sesuai dengan IMB.

             Selain itu, ada yang disebut hak sipil (civil right) dan kebebasan sipil (civil liberties), walaupun definisinya belum baku dan belum sering digunakan, sering pula bertukar dalam penggunaan maupun pengertiannya. Yang jelas kebebasan berbicara, dipilih dan hak pilih disebut kebebasan sipil, sedangkan hak sipil adalah menggunakan hak fasilitas publik, seperti: kereta api, bus, taman kota, dan sejenis lainnya.


        Membangun Masyarakat Sipil

             Demokrasi merupakan sistem atau tatanan yang telah terbukti paling baik dan cocok bagi dan di dalam kehidupan masyarakat majemuk. Di samping itu ia juga telah menjadi keniscayaan sejarah dunia dan kecenderungan global, sehingga negara yang tidak atau belum demokratis akan tersisih di pentas politik internasional. Demokrasi itu sendiri tak pernah dapat sempurna tanpa cacat dan cela, demikian pun di Amerika Serikat, yang disebut-sebut sebagai “kampiun demokrasi”. Ibarat proses, maka demokrasi niscaya bergerak terus menerus, tanpa berkesudahaan, mendekati kesempurnaan itu. Upaya menuju ke arah itu, menurut Arief Budiman (1990), dapat dipahami sebagai suatu proses memperkuat masyarakat sipil (civil society). Masyarakat sipil itu sendiri, pada intinya, merupakan kelompok-kelompok sosial, politik, atau arena masyarakat yang dilandasi atau dijiwai dengan semangat otonomi, kemandirian, dan sikap kritis, serta bebas dari intervensi negara. Di dalam masyarakat semacam ini, warga bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial di luar institusi-institusi resmi negara, independen dan tidak tergantung otoritas negara, menjalin solidaritas demi mencapai kebaikan-kebajikan bersama, tegak berpijak pada prinsip egalitarianisme dan inklusifisme (Culla, 1999).

             Masyarakat sipil itu sendiri bukanlah negara, justru berhadapan dengan negara, tetapi bukan sebagai lawan, meski dapat saja menjadi “lawan” tatkala negara bertindak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sosial. Itulah sebabnya, kelompok-kelompok di dalam masyarakat sipil tidak bersifat primordial dan tidak pula mengandalkan jejaring patron-klientalisme. Karena, variable utamanya adalah otonomi, umum (publik), dan sipil (berkait dengan segala hak dan kewajiban warga Negara).
            
             Masyarakat sipil dapat terbentuk dengan syarat:
a.         Pendidikan yang memadai dimana penduduk telah memiliki tingkat pendidikannya, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
b.         Memiliki daya beli; setiap warga bisa mandiri dalam mengelola kehidupannya, tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan. Masyarakat tingkat menengah ke atas jumlahnya minimum 30% dari seluruh penduduk.
c.          Bebas mendirikan organisasi dan menjadi anggotanya, seperti ormas, LSM, yayasan, dan sebagainya.
d.         Negara memberi kebebasan kepada rakyatnya menentukan nasibnya sendiri, bebas berbicara, berorganisasi dan berperan memajukan bangsanya, namun tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan.

             Kelak mencapai kondisi diatas akan sanhat sulit bila beban itu diberikan hanya kepada negara, maka perlu dipikirkan mengembangkan embrio-embrio masyarakat sipil. Embrio-embrio tersebut akan berkembang menjadi organisasi non pemerintah (ornop) dan mendatang terbentuknya masyarakat sipil, sebaliknya akan mendorong tercapainya kondisi yang dimaksud.

             Masyarakat di Indonesia menjawab keadaan tersebut sungguh berat karena kondisi masyarakatnya masih sebagian besar dibawah garis kemiskinan, maka belum siap dikatakan masyarakat sipil, melainkan masyarakat agraris dan tradisional. Sekarang apakah masyarakat itu mau maju dan belajar sehingga bisa keluar dari kondisi tersebut. Bagaimana dia belajar dan maju, maka pemerintah memiliki tugas untuk membekali kesadaran, mau belajar sehingga memiliki kemampuan dan kemandirian agar lepas dari kondisi kemiskinan tersebut. Salah satu caranya di bidang perekonomian, masyarakat itu harus disiplin dan memiliki etos kerja serta mengatur kehidupannya, kapan bekerja, makan dan beristirahat. Kemudian masyarakat itu harus terampil bekerja dan memiliki kompetensi dan karakter sehingga dia mampu berswadaya. Seluruh masyarakat dunia cenderung membentuk masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah rakyat yang mencerminkan kehidupan demokratis. Penduduk yang melakukan peranannya tanpa memandang predikat-predikat, jabatan, kekuasaan, gelar pendidikan dan sebagainya. Bahwa di dalam profesinya anggota masyarakat sipil dapat secara mandiri mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya, berdiri di atas kaki sendiri.

             Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, etnik, penganut agama, pelaku kebudayaan adat istiadat. Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat. Rakyat Amerika Serikat sekarang sedang giat mengkaji dan mengangkat keberagamaan di kalangan mereka sendiri; orang-orang yang berasal dari Eropa, Indian, Kulit Hitam maupun Asia. Mereka sedang mempelajari secara mendalam tentang makna dan inti keberagamaan itu. Orang Amerika adalah masyarakat individual, mereka memiliki equality and freedom (kesetaraan dan kebebasan). Orang Amerika memperjuangkan kebebasannya dikalangan mereka sendiri. Sedangkan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat kelompok (masyarakat keluarga) dimana unsur keluarga atau paham Bhinneka Tunggal Ika dan kemerdekaan. Rakyat Indonesia yang terdiri dari keragaman suku bangsa, etnik, agama, budaya, dan istiadat berjuang mendapatkan kemerdekaan dari kolonial Belanda. Masyarakat Indonesia yang majemuk ini tidak pernah menjajah dan menguasai wilayah lain, akhirnya setelah 350 tahun mampu mengusir penguasa asing melalui perjuangan kemerdekaan. Masyarakat majemuk di satu sisi adalah kekayaan dan kebesaran Indonesia, namun sekaligus juga mempunyai potensi konflik, pertentangan diantara mereka mungkin faktor karakter, perbedaan tingkat ekonomi, perselisihan hak-hak publik seperti kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, status tanah adat, dan sebagainya. Oleh karena itu, masyarakat majemuk Indonesia pada mulanya adalah masyarakat yang menghargai perbedaan serta memelihara semangat saling pengertian, saling gotong royong sekaligus menghormati keyakinan yang dimiliki masing-masing kelompok atau warga. Makanya masyarakat Indonesia disebut masyarakat yang beriman. Kemungkinan konflik itu di kalangan suku bangsa, etnik, agama, dan adat istiadat dapat saja terjadi dari macam-macam potensi konflik:
a.         Karena perebutan tempat mencari nafkah
b.         Karena perebutan kekuasaan atau karier/jabatan
c.          Karena harga diri; dia seorang keturunan raja, status sosial, dapat juga karena merasa diri seorang mayoritas maupun minoritas.

             Untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan dan pertentangan di masyarakat, maka setiap rakyat Indonesia yang memiliki paham kemajemukan tersebut harus:
1)         Setiap warga harus mempunyai kesamaan dalam paham kemanusiaan bahwa manusia tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
2)         Setiap warga harus sama di hadapan hukum, pemerintah harus menegakan hukum terhadap siapapun yang salah, dikenakan sanksi hukum tidak memandang agama, suku, etnik, budaya dan adat istiadat.
3)         Keadilan; keadilan harus berdasarkan kemanusiaan yang beradab.
4)         Peraturan perundangan di segala aspek kehidupan masyarakat haruslah sesuai dengan hati nurani, keyakinan kelompok dan tidak ada diskriminasi dan berwawasan kemerdekaan kebangsaan.

Bila embrio-embrio masyarakat sipil mulai terbentuk, maka hal itu akan mempercepat kondisi yang di maksud, sebaliknya akan mendorong pembentukan masyarakat sipil.

             Apabila ada gangguan terhadap masyarakat, maka negara harus berkewajiban melindungi masyarakat dengan menerapkan peraturan perundangan secara tegas, memberikan pertanggungjawaban yang terbuka. Keterbukaan dalam memanfaatkan sumber daya, kesediaan lapangan kerja dan usaha, penerimaan pegawai dan keterbukaan pelaksanaan pertanggungjawaban publik dalam pelaksanaan proyek-proyek. Adanya pertanggungjawaban administrasi yang jelas di bidang administrasi keuangan (accountability) sehingga Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) dapat dihindari. Jika kondisi umum seperti ini terbentuk di masyarakat, maka negara memiliki ketahanan nasional yang kuat, sekaligus bangsa Indonesia memiliki martabat.

             Masyarakat Indonesia sedang menuju masyarakat sipil dengan modal utamanya, demokrasi yang sedang tumbuh pesat, kemudian bermunculan begitu banyak organisasi seperti Ormas, parpol, LSM, Yayasan, Perhimpunan, Paguyuban sebagai ciri-ciri dari masyarakat sipil dan yang paling berperan ormas.

             Jika harus menunjuk suatu negara yang memiliki ciri-ciri sebagaimana terpapar diatas, tak pelak, AS merupakan satu diantara sedikit negara di dunia yang sudah mencapai perkembangan ke arah itu. Dari belasan nilai budaya yang didaftarkan Luedtke (1987), misalnya. Nampak jelas bahwa AS merupakan negara demokratis dengan masyarakat sipil yang relatif dewasa. Begitupun dari sisi berkembangnya asosiasi-asosiasi bebas di masyarakat, yang terdapat begitu banyaknya di sana (Dahl, 1985). Pertanyaannya, bagaimana perkembangan masyarakat sipil yang merupakan proses menuju demokrasi itu terjadi di AS? Uraian berikut mencoba menjelaskannya secara singkat.

a.         Masyarakat Sipil di AS
             Lebih jauh Victor Silaen menjelaskan Amerika Serikat, demikian Tocqueville (1969), adalah bangsa yang religius. Kekristenan begitu kuatnya mempengaruhi kehidupan masyarakat di Negara ini. Memang, jika ditelusuri secara historis, niscaya mudah dipahami betapa faktor dan dimensi agama memegang peranan penting yang melatar belakangi terbentuknya bangsa baru Amerika pada pertengahan abad ke-18. Bermula pada awal abad ke-17, berdatanganlah gelombang demi gelombang orang-orang kulit putih asal Inggris yang mendambakan kebebasan beragama. Mereka disebut kaum Puritan, yang di negeri asalnya banyak menghadapi hambatan dan tekanan karena agama ‘baru’, karena agama tersebut lahir bersamaan dengan meluasnya pengaruh gerakan Reformasi gereja yang dipelopori oleh Martin Luther (1483-1546) dan kemudian dikembangkan oleh John Calvin (1509-1564).
             Kaum Puritan itu, yang berniat memurnikan ajaran agama Katolik Roma dengan segala praktiknya yang dinilai sudah jauh menyimpang, merasa tak mungkin dapat melaksanakan misinya di Inggris. Disebabkan alasan itulah akhirnya mereka bermigrasi ke benua baru Amerika. Bagaikan bangsa Israel yang dipanggil keluar dari tempat pengasingan (Babilonia) menuju Negeri Perjanjian (Kanaan), kaum Puritan asal Inggris ini menyakini bahwa benua Amerika adalah tanah impian yang dijanjikan Tuhan (God’s promised land). Mereka pun merasa diri sebagai umat pilihan Tuhan (God’s chosen people) yang menerima misi ilahi (divine mission) untuk menerangi kegelapan dunia (Miller, 1956).
             Selanjutnya, karena begitu ketatnya ajaran dan kaidah agama yang mereka terapkan dalam kehidupan sesehari, maka berkembanglah kecenderungan yang mengarah kepada negara teokrasi. Sementara itu, kaum imigran lain yang berbeda latar belakang dan motivasinya, terus berdatangan dan hidup diantara mereka. Maka, mulailah terasa adanya perbedaan-perbedaan dalam hidup yang saling berdampingan. Mereka yang tak bisa menyesuaikan diri dengan tatanan hidup kaum Puritan itu, satu persatu menyingkir dan mendirikan koloni baru atau bergabung dengan koloni lain dengan komunitasnya masing-masing. Maka, seiring waktu, keanekaragaman dalam kehidupan bersama makin tak terhindarkan. Sehingga kelak, lahirlah ribuan gereja dengan denominasinya masing-masing. Faktor inilah yang mendasari Amerika kelak tercatat sebagai negara pertama di dunia yang menerapkan konsep pemisahan hubungan kekuasaan antara pemerintahan negara dan gereja.
             Keanekaragaman inilah yang merupakan faktor penting yang menyebabkan Amerika kelak terbentuk menjadi negara republik yang demokratis, sementara negara lainnya masih diperintah oleh raja-raja absolute. Kebebasan beragama pada gilirannya juga menyuburkan semangat yang sama dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik. Maka, mereka yang semula ingin membangun negara teokrasi,  akhirnya menerima kenyataan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan yang menghargai kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar. Kendati demikian, sang pionir kaum Puritan ternyata tetap berperan penting dalam kehidupan masyarakat Amerika. Mereka yang mempelopori, mereka pula yang cenderung mendominasi untuk seterusnya. Maka, tidaklah mengherankan jika agama kaum Puritan itu pulalah yang kemudian ‘memimpin diatas panggung’ sebagai agamanya kelompok mayoritas. Dalam berkomunikasi, bahasa Inggris pun menjadi acuan. Dalam struktur sosial, orang-orang kulit putihlah yang memiliki posisi teratas di masyarakat. Inilah yang mendasari terbentuknya golongan WASP atau White anglo Saxon Protestan (orang-orang putih asal Anglo Sakson yang beragama Protestan) sebagai the silent majority di Amerika hingga kini.
             Berdasarkan itulah maka agama, menurut sejarawan AS Perry Miller (1956), merupakan hal yang tak mungkin terpisahkan dalam upaya memahami kebudayaan masyarakat Amerika. Pun dewasa ini, meski banyak orang menganggap Amerika sebagai bangsa yang sangat sekuler, tetap saja dimensi agama berperan sebagai kekuatan penting dalam kehidupan. Tak heran jika setiap Presiden atau pejabat pemerintah yang akan berpidato, pasti mengawalinya dengan kata-kata yang religius. Bahkan, mata uang mereka pun bertuliskan: In God we trust. Juga dalam hal yang paradoks ini, yakni ketika mereka akan berperang, niscaya doa-doa (secara resmi) yang dipanjatkan pada rohaniawan (pendeta) menyertainya.
             Pada hal, Kristus mengajarkan, menghindari perang dan kekerasan tidak membalaskan yang jahat dengan yang jahat atau perang dengan perang harus selalu dengan baikan, karena kebaikan menutupi kejahatan. Pembalasan terhadap kejahatan adalah hak Kristus, bukan hak manusia. Bahkan Kristus mengajarkan kasihilah musuhmu. Urusan perang tidak ada hubungannya dengan kekristenan, itu urusan manusia.
             Selanjutnya Victor Silaen menuturkan, mengapa di sisi mereka bisa sangat sekularistik, rasionalistik, sekaligus materialistic? Itulah uniknya bangsa Amerika. Sebagai bangsa merdeka yang sudah berumur ratusan tahun, yang selama kurun waktu panjang itu mereka hidup dalam kemakmuran dan kejayaan, pemikiran-pemikiran agama berpeluang besar untuk berkembang secara dinamis dan memberi kontribusi penting bagi dan di dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. George M. Marsden, dalam Religion and American Culture (1996), menjelaskan tahapan-tahapan perkembangan agama di AS dengan begitu gamblangnya. Dimulai dengan era kedatangan kaum Puritan, zaman kebangkitan besar, zaman pencerahan, dan munculnya pelopor gerakan kebangunan rohani Amerika (Jonathan Edwards). Marsden juga membahas tentang pengaruh agama (melalui evangelisasi) dalam pembentukan karakter bangsa, dan peran agama dalam mendorong perubahan-perubahan serta kemajuan-kemajuan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan. Dijelaskan pula peranan Charles G. Finney, seorang tokoh masyarakat dan evangelis terkemuka sebelum pecahnya Perang Saudara pada pertengahan abad ke-19.
             Berikutnya masuk ke zaman keemasan Amerika, dikaitkan dengan berkembangnya nilai budaya yang progresif, sekularisasi yang melanda kehidupan masyarakat, dan pengaruh agama dalam aspek politik. Lalu berlanjut sampai ke zaman reformasi, yang ditandai dengan terjadinya revolusi di berbagai bidang, juga munculnya tokoh misionaris terkemuka di akhir abad ke-19: Dwight L. Moody. Dalam konteks abad ke-20, dibahas pula tentang masalah krisis budaya Modernisasi, kebangunan Katolikisme, Fundamentalisme, lesbian. Dijelaskan pula apa dan siapa tokoh pragmatisme John Dewey dan tokoh gerakan penghapusan segregasi Martin Luther King Jr. Semua itu, dalam pandangan Marsden, erat terkait dengan agama. Tetapi, agama yang seperti apa dan bagaimana? Jawabannya tidaklah menunjuk pada agama tertentu semisal Protestan, Katolik, atau agama lainnya, melainkan lebih pada sifat agama itu sendiri: yang dinamis dan reformis, dan yang disertai dengan semangat rasionalistik demi mengejar kebaikan di dalam kehidupan bersama. Jadi, agama tersebut bukanlah sesuatu yang “sudah selesai”, melainkan yang terus menerus mengalami dialektika.

b.         Masyarakat Madani
             Dalam tulisannya, Victor Silaen tidak menggunakan istilah “madani” sebagaimana yang kerap digunakan oleh sejumlah ahli dan pengamat sosial politik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, karena merasa lebih tepat menggunakan istilah “sipil” sebagai padanan “civil”. Dan bukankah istilah “sipil” itu sendiri sudah lazim digunakan di Indonesia, semisal dalam konsep “darurat sipil”, “hukum sipil”, dan lain sebagainya? Jadi, mengapa tidak mebiasakan diri pula menggunakan istilah “masyarakat sipil” sebagai padanan “civil society”? Jika dulu, di awal tahun 90-an, istilah “sipil” dianggap memiliki konotasi negatif sebagai suatu yang berhadapan dengan “militer”, sehingga karenanya digunakan istilah “madani”, bukankah sekarang situasinya sudah berubah sedemikian rupa? Dan seperti dikatakan diatas, tidak ada hubungan antara sipil dengan militer dalam istilah masyarakat sipil.
             Dalam konteks ini, sangatlah penting dipahami bahwa di balik istilah-istilah “madani” atau “sipil” itu terkandung makna-makna khusus yang membedakan keduanya. Jadi, baik menggunakan “madani” atau “sipil” secara implisit akan memiliki konsekuensi logis yang berbeda pula di dalam realitas sosial-politiknya. Di balik istilah “sipil” terkandung makna khusus yang terkait dengan sejarah peradaban masyarakat Barat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Begitupula di balik istilah “madani”, terkandung makna khusus yang bernilai histories dalam perkembangan pemikiran Islam. Jadi, ia bukanlah sekedar nama yang dapat digunakan sesuai selera, dan tanpa dilandasi pemahaman yang benar.
             Masyarakat Madani sebagai suatu komunitas Islam yang pernah didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Kota Madinah, yang dulunya bernama Yastrib, merupakan fakta empiris dalam sejarah peradaban Islam. Seperti dikemukakan oleh salah seorang pemikir muslim terkemuka di Indonesia, Nurcholish Madjid, di kota itulah Nabi Muhammad membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam relasinya yang erat dengan Allah secara vertikal menjamin manusia tidak jatuh hina dan nista, sehingga dari padanya terpancar pula dalam dimensi horizontal, semangat perikemanusiaan yang dapat menciptakan hubungan antar sesama yang penuh budi luhur (Culla, 1999).
             Perubahan nama Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya merupakan proklamasi pembangunan masyarakat berperadaban di kota itu. Terdapat 6 ciri penting dan mendasar dari masyarakat ini (Culla, 1999), yakni: 1) adanya kepercayaan bahwa semua orang memiliki derajat yang sama (egalitarianisme); 2) penghargaan kepada orang diberikan atas dasar prestasinya, dan bukan atas dasar kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya; 3) adanya keterbukaan dan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat; 4) berlakunya penegakkan hukum dan keadilan; 5) adanya toleransi dan pluralisme; 6) berlakunya musyawarah.
             Menurut Burhanuddin, seorang intelektual muda Muslim, masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad itu bukannya tanpa kelemahan. Terutama jika dicermati bahwa di dalam Perjanjian Madinah yang di up-date sebagai kesepakatan bersama antar komunitas ketika itu masih belum sepenuhnya mengakomodir prinsip-prinsip pluralisme dan penghargaan terhadap hak-hak asasi kelompok minoritas. Konstruksi umat yang dibayangkan masih cenderung berpihak pada kalangan mayoritas sebagaimana terbukti pada kasus hukuman bunuh yang ditimpakan kepada Quraidhoh yang melanggar kesepakatan (Andriata, 1999). Walaupun elemen-elemen yang mendukung terbentuknya civil society saat itu telah terbangun di Madinah, yakni dengan adanya operasionalisasi prinsip-prinsip al-adaalah (keadilan), al-musaawah (persamaan), dan al-syuuro (musyawarah), namun bila ditelusuri dari sudut penghargaan terhadap asas kewargaan (citizenship) belumlah ada. Bernard Lewis dalam magnum opus­-nya, Political Languange of Islam, sebagaimana dikutip Burhanuddin, bahkan tak menemukan konsep kewargaan dalam kosakata bahasa politik Islam. “Bukankah semua policy yang ditelurkan waktu itu didasarkan pada otoritas tunggal yang disuarakan Rasul yang memiliki keabsahan spiritual dalam menafsirkan kebenaran atas nama Tuhan?”
             Kelemahan kedua, seperti dijelaskan Nurcholish Madjid dengan mengutip sosiolog Robert Bellah, bahwa masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad itu terlalu modern untuk zamannya, tetapi dibangun di tengah masyarakat Timur Tengah yang belum siap dengan pelbagai sarana sosial yang diperlukan guna menopang suatu tatanan sosial modern. Akibatnya, setelah Nabi Muhammad wafat, masyarakat madani itu tak mampu bertahan lama. Masyarakat yang terbangun setelah itu justru masyarakat yang disemangati kesukuan, yakni tribalisme Arab pra-Islam yang selanjutnya masuk ke dalam sistem dinasti (Culla, 1999).
             Agar masyarakat madani dapat ditegakkan, menurut Nurcholish Madjid, diperlukan manusia-manusia yang pribadinya dipenuhi semangat ketuhanan dan tindakan kebaikan kepada sesama yang mau mengikatkan jiwanya secara tulus pada kebaikan bersama. Selain itu, dalam masyarakat madani, sangat penting adanya peluang yang diberikan kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan. Jadi, ada faktor keterbukaan, mengingat kekeliruan dan kekhilafan mungkin saja dilakukan oleh manusia. Di dalam keterbukaanlah terjadi musyawarah yang menciptakan hubungan interaktif yang saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaran dalam rangka mencari penyelesaian masalah bersama dengan dijiwai suasana persamaan hak dan kewajiban setiap warga masyarakat. Di dalam musyawarah juga muncul hubungan sosial yang luhur, dilandasi dengan toleransi dan pluralitas sebagai wujud keberadaan (civility). Dalam, arti meski perbedaan tetap ada, setiap pribadi atau kelompok dalam lingkungan yang lebih luas mampu memandang yang lain dengan penghargaan tanpa saling memaksakan pendapat, pandangan, atau kehendak sendiri (Culla, 1999).


       Masyarakat Sipil dan Masyarakat Indonesia

             DR. Muhammad AS Hikam, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, di dalam makalahnya yang berjudul “Civil society dan Masyarakat Indonesia dari Wacana Menuju Program Aksi” menjelaskan tentang civil society (CS), bahwa selama hampir sepuluh tahun terakhir di tanah air tampaknya menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Bukan saja ditilik dari semakin banyaknya buku, artikel di media massa, forum-forum diskusi, perdebatan publik mengenai topik ini, tetapi juga makin bertambahnya pihak-pihak yang berminat serta berperan serta dalam wacana tersebut. Jika umpamanya pada akhir dasawarsa delapan puluhan dan awal Sembilan puluhan wacana mengenai civil society masih terbatas pada kalangan akademisi, aktivis LSM dan kaum cendekiawan, maka akhir-akhir ini kalangan pemerintah pun telah mulai ikut terlibat. Seminar sehari mengenai civil society yang digelar Lemhanas bekerja sama dengan sebuah LSM, INPI-PACT di Jakarta tahun 1997, adalah salah satu contoh dari kecenderungan terakhir itu.

             Sebagaimana yang terjadi dengan berbagai terminologi dalam ilmu sosial, khususnya ilmu politik, seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain, maka terminolog civil society juga memiliki segi-segi yang dapat mengundang berbagai penafsiran dan, karenanya, potensial menjadi bahan perdebatan. Dan ini, menurut hematnya, sah-sah saja dan justru merupakan pertanda adanya dinamika di dalam wacana yang kemudian akan mendorong dilakukannya proses kristalisasi sehingga pada akhirnya ditemukan suaru sintesa baru yang pada gilirannya akan menjadi sebuah batu loncatan bagi perkembangan berikutnya. Demikian pula, adanya kebhinnekaan pemahaman dapat menjadi pijakan bagi ditemukannya praksis yang beragam sehingga percobaan-percobaan empiris akan bermunculan.

             Demikian pula, civil society, demikian AS Hikam, kendatipun sangat penting, ia bukanlah satu-satunya prasyarat dalam rangka proses menuju terciptanya masyarakat yang demokratis dan sejahtera. Ia bukanlah sebuah gagasan dan praktik utopis yang di dalam dirinya tidak mengandung kelemahan-kelemahan, kontradiksi-kontradiksi, dan persoalan-persoalan serius. Karena itulah, dua dimensi tersebut terakhir, civil society sebagai proses terbuka dan bukan merupakan utopia, harus dijadikan pegangan agar tidak terperangkap pada esensialisme dan dogmatisme yang pernah menghinggapi berbagai pradigma besar seperti yang dialami oleh Marxisme. Civil society, dengan lain perkataan, adalah sebuah proses yang dibuat oleh manusia (baik sebagai individu maupun kelompok) dalam konteks histories tertentu dalam rangka mencapai tujuan kehidupan konkret. Hal ini khususnya berkaitan dengan peri kehidupan modern yang ditandai oleh munculnya fenomena negara  sebagai aktor yang memiliki kekuatan yang besar sehingga apabila tidak dibatasi atau diimbangi akan menghancurkan atau sekurang-kurangnya menghambat perkembangan dan cita-cita masyarakat demokratis dan sejahtera.
             Dengan adanya dimensi anti-utopianisme itulah maka civil society bukan saja menjadi sebuah kerangka konseptual yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya, tetapi juga sebuah program aksi dan gerakan yang dapat dilaksanakan dalam realitas. Yang terakhir ini berhasil dilakukan oleh para aktivis pro-demokrasi di negara-negara Eropa Tengah dan Dunia Timur pada akhir dasawarsa delapan puluhan sehingga mereka berhasil: 1) mempercepat tumbangnya rezim dan sistem politik totaliter dan 2) mengupayakan terbentuknya rezim dan sistem politik demokratis di atas puing-puing reruntuhannya. Keberhasilan inilah yang untuk tingkat tertentu ikut mengilhami para ilmuan politik untuk melakukan pengkajian yang mendalam mengenai civil society dan para aktivis pro-demokrasi di belahan dunia lain, termasuk di Indonesia, untuk memberdayakan serta menghidupkan kembali gerakan-gerakan demokratisasi melawan rezim-rezim otoriter.
             Menurut AS Hikam, bahwa pemahaman Tocquevillean dapat dipakai sebagai kerangka heuristic untuk mengenali dan menganalisa kondisi civil society di Indonesia. Dengan kerangka itulah maka secara sosiolog, sejatinya civil society  mengalami masa pertumbuhannya di negeri ini ketika mulai terjadi proses formasi sosial baru dalam masyarakat kolonial menyusul diperkenalkannya sistem ekonomi kapitalis dan birokrasi modern. Tentu saja embrio-embrio civil society telah ada sebelumnya, yaitu keberadaan lembaga-lembaga masyarakat yang kurang lebih bersifat mandiri, seperti lembaga pendidikan pesantren, misalnya. Namun demikian perkembangan civil society yang memiliki kemampuan mengambil jarak kepada negara dan mencoba melakukan fungsi dan peran penyeimbang baru terjadi pada awal abad kedua puluh, manakala organisasi-organisasi kemasyarakatan modern tercipta. Kelas menengah baru, khususnya dari kalangan pribumi, yang kemudian menjadi motor gerakan-gerakan sosial yang menawarkan alternatif terhadap sistem sosial dan politik kolonial dapat disebut sebagai aktor utama civil society modern di negeri ini dalam pengertian Tocquevillean tadi.
             Namun demikian, sejarah sosial dan politik di Indonesia tidaklah persis sama dengan di Barat, dimana setelah terjadinya proses-proses revolusi industri dan masa pencerahan, civil society benar-benar bertumbuh sebagai sebuah kekuatan otonom riil yang mampu mengimbangi, dan bahkan mengontrol, kekuatan Negara. Sebaliknya di Indonesia, civil society tampaknya pada mulanya lambat karena formasi sosial yang kondusif bagi sebuah civil society yang “dewasa” tidak terwujud, kendatipun telah diupayakan setelah kemerdekaan dicapai, khususnya pada masa Demokrasi Parlementer pada tahun 50-an. Pada tataran cultural, walaupun telah dibuat landasan-landasan baru bagi sebuah tatanan sosial dan politik modern  oleh para pendiri bangsa, tetapi dalam praktiknya hegemoni kultur politik feudal masih kuat. Primordialisme dan sektarianisme politik tetap menjadi wacana dan praksis politik dan sosial yang pada gilirannya memperlemah fondasi dari civil society itu sendiri.
             Formasi sosial dan landasan cultural yang masih ringkih itu semakin diperburuk lagi manakala gagasan Negara kuat dianut dalam sistem politik Indonesia semenjak periode Demokrasi Terpimpin dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa. Maka walaupun sistem ekonomi kapitalisasi kembali diterapkan dan mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang diluar tampak cukup menjanjikan bagi sebuah perubahan mendasar, tetapi pada kenyataannya tidak dapat berbuat banyak dalam memperkuat landasan bagi sebuah civil society yang kuat. Paling jauh, yang terjadi adalah sebuah civil society  yang paradoks. Di satu pihak, kelas menengah memang bertumbuh, tetapi ia adalah kelas menegah yang rentan terhadap pengaruh Negara. Di satu pihak, organisasi sosial semakin berkembang dalam hal kuantitas, tetapi kualitasnya masih tetap memprihantinkan. Banyak diantara organisasi sosial dan kelompok kepentingan yang tergantung kepada kecenderungan partikularisme dan bahkan sektarianisme. Termasuk dalam kategori ormas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sejatinya merupakan salah satu tulang punggung utama civil society.
             Selanjutnya AS. Hilam mencatat, bahwa kondisi yang seperti itu berpengaruh besar terhadap upaya pemberdayaan civil society di Indonesia. Apalagi jika keberadaan sebuah civil society yang kuat diandaikan sebagai salah satu prasyarat terpenting bagi kehidupan yang lebih demokratis. Orientasi Negara kuat yang dipilih oleh Orde Baru, terlepas dari kesuksesannya dalam menopang proses pembangunan ekonomi terbukti telah “membonsai” kehidupan demokratis. Depolitisasi massa lapis bawah, korporatisasi negara terhadap organisasi sosial dan politik, monopoli kekuasaan pada lembaga eksekutif, personalisasi kekuasaan, dan lemahnya lembaga legislatif dan judikatif sebagai pengontrol kekuasaan, semuanya bermuara ke satu arah: proses pelemahan posisi tawar menawar politik rakyat vis-à-vis negara. Bukan itu saja. Kondisi yang seperti itu telah menyuburkan lahan bagi maraknya pemakian identitas primordial dalam permainan politik khususnya dalam rangka memperoleh akses politik di tingkat elit. Hal ini disebabkan politik kooptasi yang dijalankan melalui jalur elite kepemimpinan dalam masyarakat. Akibatnya, terdapat kecenderungan tergusurnya kemandirian kelompok strategis dan mudahnya dilakukan politik divide and rule terhadap kelompok yang dianggap punya potensi menantang dominasi negara.
             Yang lebih memprihantinkan lagi, dalam konteks perkembangan civil society adalah keringnya sumber kultur untuk menopang. Seperti dikatakan di depan, dimensi cultural yang berkaitan dengan prinsip-prinsip egalitarianisme, demokrasi, jaminan hak-hak dasar, menjadi pengikat utama civi society yang pluralistik. Tanpa adanya landasan prinsip tersebut walaupun civil society ada secara fisik tetapi tak memiliki daya. Sebab civil society yang demikian tak akan mampu melakukan refleksi yang akan memungkinkan proses pengambilan jarak terhadap partikularisme sehingga dapat tercipta titik temu diantara mereka. Padahal, dalam masyarakat yang sangat plural dan heterogen seperti di Indonesia, kemampuan menemukan titik-titik persamaan itulah yang justru sangat diperlukan sehingga civil society dapat mengembangkan dirinya sebagai sumber input bagi penciptaan demokrasi. Sebagaimana yang kita saksikan akhir-akhir ini, sementara kelompok dalam civil society di negeri ini malahan menjadi alat kepentingan negara dan menggunakan wacana sekretarian dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan politiknya.
             Namun saat ini ormas-ormas sangat bebas melakukan hal-hal yang bukan fungsinya, seperti sweeping, penangkapan dan lain-lain yang melanggar peraturan yang cenderung anarkis. Itu karena peraturan perundang-undangan yang mengatur ormas tidak sesuai lagi dan pembinaan pemerintah tidak jelas atau sangat kurang. Sebaliknya bila peraturan sesuai dan pembinaan baik, justru masyarakat sipil akan baik dan kondisi Negara makin baik. Selain itu diperlukan Dewan Ormas seperti Dewan Pers untuk mengevaluasi bahkan member sanksi bagi ormas yang melakukan pelanggaran.

       Wawasan Kebangsaan
             Wawasan kebangsaan sangat berperan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama digunakan sebagai doktrin yang diakui bersama kebenarannya untuk melakukan kehidupan bersama, menjalankan pemerintahan dan pembangunan.
             Bangsa Indonesia memiliki Wawasan Nusantara (Wasnus) yang menjiwai bangsa Indonesia, yaitu persatuan. Wasnus sangat penting bagi Indonesia yang terdiri dari beribu pulau (± 17.508 pulau), beragam suku bangsa (1.000 lebih menurut Anhar Gonggong), budaya dan istiadat mengikuti jumlah suku.
             Wasnus juga digunakan sebagai Geo-Politik. Indonesia yang terdiri dari beribu pulau itu dengan luas daratan 1,9 juta km persegi, memiliki laut yang luas 5,8 juta km2 dan sangat kaya, lebih dari 388 miliar dollar per tahun.
             Pada awalnya Indonesia terdiri pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut, kemudian setelah pengakuan dunia tahun 1982 atas Deklarasi Juanda tahun 1957 Indonesia terdiri dari pulau yang dipersatukan laut, karena laut diantara pulau-pulau adalah territorial Indonesia sampai sejauh 12 mil pulau-pulau terluar. Indonesia terdiri dari laut yang ditaburi pulau.
             Laut yang luas dan kaya itu dapat menjadi Ruang Hidup (RH) dan Ruang Juang (RJ) bangsa Indonesia, maka jadilah Wawasan Bahari menjadi Geo-Life bangsa Indonesia. Wawasan ini akan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa Bahari seperti di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Adanya Wawasan kebangsaan akan memperkokoh masyarakat sipil dan pada gilirannya bangsa Indonesia makin kuat dan jaya.

       Kesimpulan
a.   Victor Silaen mengutip Cicero, bahwa masyarakat kota, maksudnya Civilis Societas, hidup dibawah hukum sipil. Selanjutnya mengutip Adam Ferguson, bahwa masyarakat sipil adalah transisi dari masyarakat Aristokratis ke masyarakat komersial atau masyarakat industry. Kemudian dia mengutip Alexis de Tocqueville, bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat yang teroganisasi yang bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara juga keterkaitan dengan norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga masyarakat. Sedangkan Alfred Stepan mendefinisikan, bahwa masyarakat sipil sebagaimana berbagai gerakan sosial, organisasi kemasyarakatan yang berusaha menyatukan diri oleh suatu himpunan untuk dapat menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan mereka. Dia mengutip juga Daniel Bell bahwa masyarakat sipil memiliki fungsi control terhadap Negara.
b.  Tulisan AS Hikam itu memuat beberapa permasalahan inti mengenai civil society dan pemberdayaannya di Indonesia dalam rangka mendukung terciptanya sebuah sistem politik yang demokratis. Civil society di Indonesia sebagai gejala sosial telah menampilkan dirinya, kendati kondisinya masih jauh dari kuat dan mampu menjadi pengimbang kekuatan negara, tetapi belum dikaitkan dengan kekuatan ekonomi pasar. Elemen-elemen dalam civil society sejatinya memiliki potensi untuk dikembangkan dan bahkan sebagian dari mereka telah memiliki akar kesejahteraan cukup lama dan para pemimpinnya           telah berperan banyak di dalam meretas kesadaran politik baru di dalam masyarakat.
c.   Masyarakat yang mendesak saat ini dan di masa datang adalah bagaimana mengembangkan potensi itu melalui wacarana dan strategi-strategi pemberdayaan serta program-program aksi yang tepat. Saat ini wacana civil society, sudah berkembang pesat dan menyebar di berbagai kalangan masyarakat, bahkan di kalangan pemerintah. Oleh sebab itu, langkah selanjutnya adalah menindaklanjuti wacana dengan program-program aksi, sehingga gerakan pro demokrasi akan semakin substantif, karena memiliki akar yang kuat dalam civil society.
d.  Ormas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagai salah satu elemen penting dalam civil society ikut memikul tanggung jawab dalam perberdayaannya. Karena itu, ormas dan LSM di Indonesia sudah sepatutnya berada di barisan depan dalam program aksi pemberdayaan, termasuk di dalam menciptakan linkage gerakan pro-demokrasi yang saat ini makin terwujud secara nyata. Untuk mencapai tujuan ,tersebut, ormas dan LSM-LSM perlu melakukan self refleksi terhadap pemberdayaan civil society dan sampai dimana komitmen tersebut diwujudkan dalam program-program konkret mereka. Program-program tersebut harus memasukkan unsur Wawasan kebangsaan untuk tetap menjaga keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 45 dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
e.  Sambil menunggu peningkatan pendidikan masyarakat dan peningkatan perekonomian yang memberi lapangan pekerjaan yang akan meningkatkan taraf hidup rakyat, maka potensi masyarakat sipi langsung menjadi kenyataan.
f.   Masyarakat Indonesia yang mulai mengenyam demokrasi, bergerak menuju masyarakat sipil. Ibarat seorang ibu yang mau melahirkan, yang pada mulanya kesakitan dan menderita, namun tahu akan ada kebahagian yang menyusul, yaitu seorang anak. Demikianlah kondisi Indonesia saat ini sedang menemukan jati diri modernya melepaskan diri dari jati diri lamanya, yaitu paternalisme, primordialisme, sukuisme, agamaisme, miskinisme, terbelakangisme, dan sebagainya. Terlebih lagi sangat mudah diprovokasi, sehingga tega melakukan terorisme. Itu semua akan lewat dan lahir suatu masyarakat sipil yang lebih berpendidikan, mempunyai kesempatan bekerja dan berorganisasi di lembaga sosial, ormas bahkan parpol.
g.   Untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sipil diperlukan Dewan ormas yang bersifat Semi Pemerintah bagi penjagaan ormas da sejenisnya (Ornop) tidak keluar dari jalur hukum dan peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar