Minggu, 28 Agustus 2011

PENINGKATAN PARTISIPASI DAN PERAN AKTIF KAUM PEREMPUAN DALAM PROSES PENGISIAN JABATAN POLITIK

Oleh
( Prof. DR. Ngadisah Dalail, MA)

NGO News. Pengisian jabatan bagi kaum perempuan ke depan menjadi masalah yang perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh agar memperoleh pemecahan yang memadai, dalam rangka mendukung proses demokratisasi. Salah satu ciri dari demokrasi adalah keterlibatan dan keterwakilan semua unsur warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Kaum perempuan merupakan salah satu unsur warga negara yang jumlahnya melampaui jumlah kaum laki-laki, sehingga secara teori, seharusnya keterlibatan dalam keterwakilan mereka dalam pengambilan keputusan dan dalam pengisian jabatan politik lebih besar dari kaum laki-laki. 

Para pengambil keputusan pada tingkat supra struktur politik adalah para wakil-wakil rakyat yang terpilih melalui proses politik yaitu melalui pemilihan. Proses pemilihan, dapat melalui pemilihan umum, atau melalui pemilihan khusus, seperti pada penentuan jabatan kepala daerah. Kriteria jabatan politik adalah jabatan-jabatan yang proses pengisiannya melalui pemilihan. Di dalam sistem perwakilan, para penentuan kebijakan adalah orang-orang yang terpilih menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu, sosok seperti apa yang akan dipilih dan bagaimana hubungan antara yang memilih dan yang dipilih dalam mekanisme kerja pemerintahan ditentukan pula oleh para wakil itu. Konsekuensinya, bila para penentu itu didominasi kaum laki-laki, maka kepentingan mereka pula yang lebih banyak diperjuangkan. Dalam konteks “gender”, bila yang berkuasa laki-laki, maka kepentingaan kaum laki-laki pula yang lebih diperhatikan. Meskipun secara formal tidak demikian bunyinya, tetapi secara praktek dan perilaku, kenyataan itulah yang ditampilkan.   
Marilah kita cermati, data tentang keterwakilan kaum perempuan yang duduk dalam jabatan politik maupun pemerintahan. Pada Pemilu 1999, yang dianggap Pemilu yang paling demokratis sejak era orde baru, wakil rakyat yang berjenis kelamin perempuan hanya 9,82%, yang seharusnya mewakili lebih dari 50% penduduk perempuan. Partisipasi perempuan sebagai pemilihpun mencapai 50,88%, sedangkan laki-laki 49,12%.
Di bidang pemerintahan, data yang tersedia di Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa ; pejabat eselon I (a dan b), sebanyak 18 jabatan, dua diantaranya perempuan (11,12%). Dari pejabat eselon II sebanyak 81 orang, 8 orang adalah perempuan (9,88%). Dengan demikian, dari jumlah keseluruhan 99 orang pejabat eselon I dan II, yang dijabat oleh perempuan hanya 10,05% (10 orang). Pejabat politik di pemerintahan, yakni yang menduduki posisi Bupati/Walikota, lebih rendah lagi persentasenya, karena hanya 8 orang dari ± 400 kabupaten/kota yang kepala daerahnya perempuan. Untuk Gubernur, bahkan tidak ada perempuannya, kecuali wakil (satu orang).   :
Data diatas menunjukkan dengan jelas bahwa partisipasi politik perempuan sebagai pemilih dalam proses pengisian jabatan politik cukup baik, namun jumlah perempuan yang dipilih/ditetapkan untuk mengisi jabatan politik sangat kecil. Mengapa demikian ? Inilah pokok persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini.



                    ”KUOTA” VS PRESTASI.
Perjuangan masyarakat untuk menyeimbangkan keterwakilah di lembaga legislatif antara laki-laki dan perempuan mulai mencuat setelah Pemilu 1999, mengingat adanya ketimpangan dalam hal tersebut. Perjuangan ke arah ini telah direspon oleh pemerintah dan DPR, sehingga berhasil ditampung aspirasi kaum perempuan dalam bentuk ”kota”, 30% bagi keterwakilan perempuan. Di dalam pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota disebutkan bahwa : ”Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Keputusan politik tersebut, merupakan ”generator” dan pendukung utama secara yuridis formal  untuk memacu kaum perempuan lebih aktif dalam berperan serta  mengisi jabatan politik di Indonesia. Di luar itu, kebijakan pemerintah yang secara eksplisit menghambat kaum perempuan untuk berkiprah dalam kehidupan politik maupun untuk menduduki jabatan-jabatan publik sesungguhnya sulit ditemukan. Artinya, secara yuridis formal tidak ada peraturan yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam menempuh karir politik dan pemerintahan. Untuk menjadi PNS dan promosi jabatan di lingkungan pemerintahan misalnya, tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Namun untuk lingkungan partai politik, soal rekrutmen kepengurusan dan kader-kader partai diatur oleh Parpol masing-masing. Oleh karenanya, kunci utama pembuka kaum perempuan agar berpartisipasi lebih aktif di dalam kehidupan politik berada di tangan para pengurus partai.    
Dalam kaitan dengan pengisan anggota legislatif yang harus memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%, juga tidak lepas dari peran Parpol untuk memenuhinya. Tentu tidak ada jaminan bagi kaum perempuan untuk secara otomatis memperoleh kesempatan menduduki kursi legislatif sebanyak 30% bila tidak ada kiprah nyata dan perjuangannya di dalam partai. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang itu hanyalah alat pacu agar kaum perempuan dapat memotivasi diri lebih kuat untuk berpartisipasi aktif di dalam kehidupan politik. Dengan kata lain, kaum perempuan harus berusaha keras meraih prestasi dalam kehidupan politik (melalui Parpol), agar ”kota ” itu dapat terisi.
Sebenarnya, istilah ”kota” itu bukan makna yang sebenarnya terkandung di dalam bunyi pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, karena makna yang sesungguhnya lebih bersifat himbauan, bukan keharusan atau suatu kewajiban bagi partai politik tertentu untuk mengisinya (lihat istilah ”memperhatikan”). Ketentuan tersebut juga tidak memberi sangsi apapun bagi parpol yang melanggarnya. Ini berarti, pengisiannya tetap harus diperjuangkan oleh kaum perempuan.
”Tidak ada  yang gratis dalam dunia politik”. Itulah kira-kira istilah yang pas untuk  mengungkapkan bahwa unsur perjuangan merupakan syarat untuk memperoleh posisi. Dalam konteks politik Indonesia dewasa ini, wadah perjuangan itu adalah partai karena partailah yang berwenang mengusulkan calon-calon pejabat politik mulai dari presiden, anggota legislatif sampai calon kepala daerah. Meskipun ada kemungkinan partai mengusulkan orang dari luar partai, tetapi peluangnya kecil, dibanding orang-orang yang sudah dikader oleh partainya.
Masalahnya sekarang, apakah partai mau merekrut kader-kader atau pengurus partainya dengan memperhatikan keterwakilan perempuan ? Kita belum memiliki data tentang ini, namun berdasarkan pengalaman Pemilu yang lalu bahwa wakil-wakil rakyat yang di DPR maupun DPRD sebagian besar diduduki kaum laki-laki, merupakan indikasi bahwa pengkaderan partai yang bersumber dari kalangan perempuan memang kurang. Hal ini merupakan tantangan bagi kaum perempuan untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat umum (sebagai pemilih) maupun tokoh-tokoh parpol (sebagai pengguna).
Kepercayaan itu harus dibangun melalui sikap proaktif dan pembuktian diri bahwa mereka mampu berprestasi. Tolok ukur keberhasilan / prestasi kaum perempuan di dunia politik adalah kemampuannya untuk meraih suara yang sebanyak-banyaknya dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Meningkatkan kemampuan perempuan untuk lebih berprestasi merupakan salah satu persoalan penting yang perlu dikaji lebih mendalam. Berbarengan dengan itu, perlu pula dikaji, faktor-faktor budaya yang melatarbelakangi tertinggalnya kaum perempuan untuk berkiprah dalam kehidupan politik.
Hal penting yang juga harus dicatat adalah, bahwa pemberian ”kota” bukanlah ”given” akan diperoleh oleh politisi perempuan, tetapi harus direbut dan diperjuangkan. Makna partisipasi politik kaum perempuan jangan disikapi dengan menunggu atau diam, tetapi harus dengan upaya kerja keras proaktif memanfaatkan peluang dan kerja keras meraih prestasi. Untuk itu, perlu ditumbuhkan keyakinan di kalangan perempuan sendiri bahwa mencapai sesuatu dengan hasil usaha sendiri (achievement) jauh lebih berharga daripada pemberian (ascribe). Memang, kepercayaan publik dibangun melalui prestasi, yang berkorelasi dengan kemampuan dan kualitas kinerja para politisi perempuan. Bila kaum perempuan mampu menunjukkan kinerja yang baik, kepercayaan akan meningkat, namun bila sebaliknya kepercayaan akan menurun.
  
    UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PENGISIAN JABATAN POLITIK
Telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan jabatan politik adalah jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui proses pemilihan. Oleh karena tujuannya untuk mengisi formasi jabatan, berarti lebih ditekankan pada kedudukan perempuan sebagai orang yang dipilih, bukan sebagai pemilih. Untuk dapat dipilih, tentu saja ada syarat-syarat yang ditetapkan secara formal, sehingga tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Sebelum persyaratan formal dipenuhi, ada prasyarat yang disebut sebagai kondisi awal yang menjadi pendukung agar seseorang dapat dicalonkan pada jabatan-jabatan politik. Proses awal inilah yang akan menentukan, berapa banyak calon yang diajukan dan akhirnya berakhir pada pengisian pejabat yang terpilih. Proses awal ini berada di tangan para pengelola partai. Ini berarti, prediksi tercapai tidaknya kota 30% perempuan dalam lembaga legislatif dan pada jabatan-jabatan politik lainnya, dapat dilihat dari strategi Parpol dalam merekrut para pengurus partainya. Setelah itu, masyarakat juga perlu dikondisikan agar tidak ”alergi” memilih wakil-wakil/pejabat perempuan. Bersamaan dengan itu, perlu ada pemacu bagi kaum perempuan itu sendiri  agar proaktif berpartisipasi untuk melakukan pendekatan / loby politik agar mendapatkan kepercayaan dari Parpol maupun masyarakat umum.
Dengan demikian, ada 3 syarat yang harus dipenuhi untuk mendorong peningkatan partisipasi dan peran aktif perempuan dalam pengisian jabatan politik, yaitu :
1.      Memberdayakan kaum perempuan.
2.      Strategi pengkaderan Parpol.
3.      Sosialisasi kesamaan jender
1.      Memberdayakan Perempuan
Pemberdayaan perempuan (empowerwomen) mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhaedap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Priyono, 1996 : 97). Definisi lain dikemukakan oleh Gajanayake (1993 : 6) yang menyebutkan bahwa ”Pemberdayaan adalah suatu konsep yang mengarah pada partisipasi. Termasuk di dalamnya memungkinkan masyarakat memahami realitas lingkungannya, merefleksikan faktor-faktor yang membentuk lingkungan dan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mengubah ke arah yang lebih baik”.
Dari kedua definisi itu dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam istilah pemberdayaan terdapat upaya-upaya yang diarahkan kepada :
-          Pengembangan potensi masyarakat
-          Kemandirian dan keswadayaan
-          Peningkatan partisipasi pada segala bidang kehidupan
-          Pengenalan lingkungannya secara lebih baik
-          Kemampuan bertindak untuk mengubah keadaan sesuai dengan keinginan   
Upaya ke arah itu, perlu ditunjang dengan kemampuan mengorganisasikan diri agar tujuan dapat dicapai secara efektif. Mengoranisasikan diri merupakan ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap kelompok yang hendak diberdayakan atau memberdayakan diri. Untuk itu, mereka harus memahami siapa dirinya, apa permasalahan-permasalahan antara kebutuhan-kebutuhannya dan dengan siapa mereka harus bekerjasama. Pengenalan terhadap diri sendiri, berarti mengetahui posisi dan potensi yang dimiliki, untuk dimanfaatkan sebagai peluang dalam upaya mengatasi masalah-masalah yang melingkupi diri maupun kelompoknya. Memahami persoalan dan mengenali kebutuhan-kebutuhannya juga tidak selalu mudah bagi setiap orang / kelompok, karena untuk ini diperlukan kemampuan menganalisis dan berpikir secara kritis tentang pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali bahkan orang luar lebih tahu tentang masalah yang dihadapi daripada dirinya sendiri, karena orang luar mempunyai patokan atau kriteria-kriteria untuk menentukan masalah berdasarkan nilai-nilai yang dimilikinya.
Pengenalan lingkungan dalam arti mengenali siapa kawan, siapa lawan, dan bagaimana memanfaatkan persaingan sebagai tantangan untuk lebih mempererat kerjasama, bukanlah hal yang mudah, bagi masyarakat yang lingkup pergaulan dan wawasannya terbatas. Oleh karena itu, dalam upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya kaum perempuan, perlu fasilitator, pendamping dan pendidik agar pemberdayaan dapat berjalan lebih efektif. Inilah arti penting kehadiran pemerintah, partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok-kelompok luar manapun dalam pemberdayaan kaum perempuan di pedesaan. Tanpa kerjasama dengan berbagai pihak, tujuan pemberdayaan tidak mungkin tercapai, karena kita hidup dalam lingkungan sosial yang kompleks, dimana setiap kelompok sosial mempunyai saling ketergantungan satu sama lain.

2.      Strategi pengkaderan Parpol
Kalaupun perempuan sudah menyadari hak-haknya dalam kehidupan politik, tidak berarti jalan mulus untuk mencapai jabatan-jabatan strategis dapat dicapai, tanpa kemauan politik para tokoh partai. Masalahnya, jalan menuju pencalonan itu dipegang oleh parpol. Oleh karena itu, untuk mendorong perempuan lebih banyak yang berpolitik, ada 3 strategi yang perlu di laksanakan parpol, yakni :
  1. kesadaran untuk berpihak kepada perempuan
  2. merekrut sebanyak mungkin perempuan duduk dalam kepengurusan partai
  3. mengusulkan calon sebanyak-banyaknya dari kaum perempuan
strategi pertama yang menyangkut keberpihakan kepada perempuan harus diwujudkan oleh Parpol mulai dari penyusunan program yang lebih diarahkan pada pemberdayaan perempuan dan pemberian kesempatan yang sama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti kesempatan memperoleh pendidikan. Keberpihakan tidak dapat terhindarkan karena kaum perempuan dalam kehidupan politik memang berada dalam posisi lemah, atau termasuk kategori ”kelompok masyarakat yang kurang beruntung”. Di samping program-progran partai yang memihak perempuan, parpol juga berkewajiban mensosialisasikan ide-ide kesetaraan jender, agar citra negatif perempuan dapat diubah menjadi positif.
Strategi kedua, berupa rekruitmen sebanyak-banyaknya perempuan dalam kepengurusan Parpol, dapat dilakukan tidak hanya sekedar menambah jumlah, tetapi perlu ada penempatan pada posisi-posisi yang strategis, yang memungkinkan mereka banyak berhubungan dengan masyarakat luas. Rekrutmen pengurus perempuan ini penting, mengingat calon-calon anggota legislatif ditentukan oleh Parpol dan pada umumnya diambil dari pengurus partai.
Strategi ketiga, yaitu mengusulkan calon anggota legislatif yang lebih banyak dari kaum perempuan tidak lepas dari strategi kedua, yakni merekrit lebih dulu dalam kepengurusan partai. Partai merupakan wahana pendidikan politik yang sangat penting karena dapat secara langsung praktek dan segala bentuk tantangan berlangsung di sana. Sebagai langkah awal, tentu perlu memberi peran kepada perempuan untuk ikut berkampanye yang memungkinkan kaum perempuan berinteraksi dengan masyarakat karena pada Pemilu mendatang, disamping memilih tanda gambar partai, pemilih juga harus memilih orang secara langsung.

3.      Sosialisasi kesamaan jender
Para aktivis gerakan perempuan selalu menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya ketidaksetaraan jender, yang wujudnya antara lain adalah diskriminasi terhadap perempuan, disebabkan karena penanaman melalui nilai-nilai budaya. Pembedaan laki-laki dan perempuan dengan segala bentuk implikasinya yang merugikan perempuan adalah suatu konstruksi budaya. Oleh karena itu, apabila ketimpangan itu mau diluruskan atau diseimbangkan, maka cara yang perlu ditempuh adalah mengubah nilai-nilai yang sudah tertanam dengan nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan jaman.
Mengubah nilai-nilai dan perilaku, tidaklah mudah. Oleh karena itu perlu dilakukan secara terus menerus, melalui contoh-contoh (suritauladan, pendidikan dan diskusi-diskusi) yang melibatkan semua lembaga, baik sosial, politik, pemerintah, keagamaan dan sebagainya. Sosialisasi juga diperlukan dalam bentuk lintas generasi (yang tua dan yang muda) serta melibatkan kaum laki-laki dan perempuan, karena budaya dibentuk dalam suatu sistem sosial yang kompleks. 

PENUTUP
Upaya peningkatan peran serta atau partisipasi aktif kaum perempuan dalam pengisian jabatan politik merupakan upaya yang strategis dalam rangka mendorong proses demokratisasi dan keadilan jender. Oleh karena proses rekrutmen jabatan politik berada pada tangan Parpol, maka pihak yang bertanggungjawab dalam rangka pengisian jabatan tersebut adalah Parpol. Untuk itu, maka Parpol perlu menyusun langkah-langkah strategis yang secara nyata berpihak kepada perempuan, yakni membina kader-kadernya dari kaum perempuan, menempatkan mereka dalam jabatan-jabatan kepartaian yang strategis dan memprioritaskan perempuan sebagai calon anggota legislatif.
Sementara itu, pemerintah berkewajiban melakukan pemberdaayaan kaum perempuan agar mereka mampu berdiri sendiri, kreatif dan sadar akan hak-hak politiknya. Kewajiban ini tidak hanya berada pada pundak pemerintah, tetapi juga lembaga-lembaga lainnya di luar pemerintah. Kewajiban pemerintah yang utama adalah memfasilitasi dan mengkoordinasikan kegiatan dari berbagai kalangan agar tujuan dapat tercapai secara lebih efisien.
Last but not least” adalah sikap kaum perempuan itu sendiri yang harus merespon ketentuan undang-undang dan perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat secara lebih dinamis, proaktif dan optimis. Tanpa bekal sikap dan perilaku yang demikian, sulit bagi kelompok ini untuk mengubah citra negatif perempuan di panggung politik nasional. Artinya, upaya pengisian jabatan politik itu pada akhirnya tergantung pada kaum perempuannya sendiri, apakah siap berubah untuk mengejar ketertinggalan apa tidak. Keputusan ada di tangan kaum perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar